Master Cokelat dari TangerangSenin, 03 September 2007Oleh : Sudarmadi
Pengalaman – termasuk pengalaman pernah gagal – adalah guru yang terbaik. Piter Jasman menerapkan prinsip ini dalam berbisnis hingga bisa menjadi pengusaha cokelat terkemuka di Tanah Air, melalui PT Bumitangerang Mesindotama. Inilah kisah kewirausahaannya.
Beberapa waktu lalu Tri Marjanto berkunjung ke sebuah pabrik pengolahan cokelat di Tangerang, Banten.
Pejabat eselon dua Departemen Perdagangan RI ini mengaku begitu terkesan. Semula, ia sama sekali tak menyangka kalau di Indonesia ada pabrik pemrosesan cokelat semodern itu. Hampir semua tahapan pemrosesan cokelat sudah diotomasi dengan mesin berteknologi mutakhir. Pabrik itu juga telah dilengkapi sistem berbasis komputer SCADA yang bisa memonitor semua mesin secara terpusat. Karena itu, sebagai contoh, proses penentuan warna dan aroma produk lebih konsisten. Kehebatan pabrik ini juga bisa dilihat dari sejumlah sertifikat yang diraihnya, yakni ISO 9001:2000 (mutu); Hazard Analysis & Critical Control Point; dan Good Manufacturing Practice.
Semula Tri mengira pabrik ini milik perusahaan cokelat asing (PMA). Namun, setelah tanya sana-sini, ia terperangah ketika tahu bahwa PT Bumitangerang Mesindotama (BM), pemilik pabrik itu, murni perusahaan lokal (PMDN), yang dibesarkan oleh Piter Jasman dan keluarganya. Sebenarnya, bagi pelaku bisnis kakao, nama BM dan Piter Jasman sudah tak asing lagi. Maklumlah, Piter Jasman (52 tahun) adalah pendiri Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), dan saat ini menjabat Ketua Umum. Adapun BM dikenal sebagai produsen cokelat setengah jadi dengan merek BT Cocoa, yang menjual produknya dalam transaksi business-to-business (B2B).
Lihat saja, pelanggannya merupakan sederet perusahaan top. Dari dalam negeri, di antaranya:
Mayora Indah; Kraft Foods; Garudafood; Grup Orang Tua; Gandum Mas; Java Cocoa; Indesso; Tora Nusantara; dan Radiance. Sementara perusahaan global yang menjadi pelanggannya antara lain: Cargill; Unicom BV; EDF&Man International; Continaf; Olam Singapore; ADM Cocoa; Macao Spain Valencia; General Cocoa; Atlantic Cocoa; Theobroma Holland; Shanghai Shan Long Wei; Liwayway Phillipines; dan Asscot.
Sukses Piter Jasman mengelola bisnis pengolahan cokelat melewati proses belajar yang cukup lama. Piter yang orang tuanya berasal dari Haka, Provinsi Canton, Cina, sejak SD hingga SMA sudah dilatih berdagang di toko kertas di rumahnya. “Saya disuruh jadi pengawas,” kata Piter mengenang. Baru setelah tamat SMA tahun 1975 ia mulai serius terjun ke dunia bisnis. Waktu itu ia diminta ikut membangun PT Wihadil Chemical Industry, perusahaan pembuat pemanis sintetis sodium siklamat di Tangerang.
Di perusahaan inilah Piter mulai berkenalan dengan industri kimia dan permesinan. Dari sini pula ia mendapat pelajaran berharga yang terus dipegang hingga sekarang. “Serahkan semua masalah pada ahlinya,” ungkap Piter mengenai pelajaran penting yang diperolehnya itu.Ceritanya, saat membangun pabrik pemanis sintetis itu keluarganya mengalami kerugian. Penyebabnya, keluarga menyerahkan seluruh proses pembangunan pabrik hanya kepada satu pihak, sebuah perusahaan asal Taiwan.
Pengadaan mesin hingga konstruksi pabrik ditangani perusahaan itu. “Orang Taiwan itu ahli mesin, tapi ternyata tidak mengerti urusan bangunan. Maka, bukannya berhemat, malah kami jadi sangat boros,” cerita Piter. “Ini pelajaran mahal. Kalau ingin sukses melakukan sesuatu harus diserahkan ke ahlinya,” tambahnya dengan mimik serius. Toh, ekses positif dari kerugian itu, Piter belajar banyak soal manajemen proyek dan permesinan yang di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang praktisi mumpuni di bidang ini. Tahun 1982, anak keempat dari 6 bersaudara ini mendirikan PT Multi Manis Murni, yang mengolah biji kakao hingga menjadi cokelat batangan. Usaha ini berjalan cukup maju. Saat itu produknya dinamai Cokelat Unyil dan Usro. Dalam setahun ia bisa memproduksi 1.000 ton. Namun sayang, karena kesulitan bahan baku, pada 1989 perusahaan ini dijual. Pada tahun itu juga Piter dan keluarganya sempat putar haluan dengan mendirikan perusahaan pembuat herbisida (pembasmi alang-alang dan tanaman pengganggu – Red.) bernama PT Adil Makmur Fajar. Pabriknya yang berlokasi di Cikupa Tangerang, memproduksi herbisida bermerek Sun Up. Perusahaan ini rupanya berjalan cukup baik sampai sekarang.Empat tahun setelah mendirikan perusahaan herbisida, Piter tertantang untuk kembali menekuni bisnis percokelatan.
Namun, bidang bisnisnya bukan di pengolahan, melainkan penjualan mesin pengolah cokelat. Ia mendirikan perusahaan baru, yakni PT Bumitangerang Mesindotama (BM), dengan menggandeng vendor mesin cokelat terkemuka dari Belanda dan Jerman, Duyvis dan Barth. Piter menjadi semacam agen mesin buatan Eropa dengan target pasar pabrik pengolahan cokelat di Indonesia. Akan tetapi, rupanya usaha keagenan sulit berkembang karena hanya bisa menjual ke kalangan pemain yang sudah ada. Di kemudian hari, Piter baru menyadari bahwa menjual ke pemain baru sangat sulit, sebab calon pembeli tidak bisa melihat contoh nyata cara kerja mesin-mesin yang ditawarkan pihaknya. “Ibarat jual mobil tanpa showroom dan tanpa test drive,” kata Piter. Karena itulah, ia lalu memutuskan untuk terjun kembali ke bisnis pengolahan cokelat. Salah satu tujuannya, supaya para calon pembeli mesin tahu bagaimana cara kerja mesin yang dia tawarkan. “Tapi produksi kami hanya produk cokelat setengah jadi. Sebab, kalau mau hingga produk akhir seperti cokelat batangan sangat sulit. Merek-merek yang ada di pasar sudah dibangun puluhan tahun,” ungkapnya. Maka, dijelaskan Piter, kini bisnis inti BM ada dua: menjual mesin pengolah cokelat; dan produk cokelat setengah jadi dengan merek BT Cocoa. Menurut Piter, sebelumnya tidak ada perusahaan yang menjual mesin pengolah cokelat secara lengkap di satu tempat seperti BM. Dahulu, untuk masuk ke bisnis pengolahan cokelat cukup sulit.
Apalagi, Piter bersedia membantu membukakan jalan untuk pemasaran produk klien yang membeli mesin darinya. Dalam praktiknya, ketika pabrik dari kliennya dalam proses penyelesaian konstruksi yang memakan waktu kira-kira 6 bulan, cokelat olahan setengah jadi dengan merek yang diinginkan investor (klien) sudah bisa diolah di pabrik BM, plus dibukakan pasar ke luar negeri. Dengan cara itu ketika pabrik selesai pengerjaannya dan mulai beroperasi, diharapkan pasarnya sudah ada. “Ini satu-satunya di dunia. Kami menggabungkan pengalaman di bidang permesinan, pemrosesan dan pemasaran, sehingga menjadi semacam turnkey project,” ujar Piter yang hobi berenang.Piter menyebutkan, biaya pembuatan pabrik yang dibebankan ke kliennya, sekitar Euro 1.000/ton. Pengusaha yang tertarik minimal harus memesan pabrik dengan kapasitas 10 ribu ton/tahun. Harga ini sudah termasuk bangunan pabrik yang sudah jadi, permesinan, pelatihan pegawai, sekaligus pembukaan pasarnya. Ia mengklaim, keuntungan dengan pola yang ditawarkan BM, bank akan lebih mudah mengucurkan kredit karena melihat pasar produknya sudah ada. “Coba kalau menunggu pabrik jadi dulu baru mencari pasar, kan lama dan susah. Padahal bunga bank jalan terus,” paparnya. Piter yakin prospek bisnisnya sangat bagus mengingat besarnya permintaan cokelat di dunia. Terlebih setelah Menteri Pertanian mencanangkan target produksi kakao Indonesia mencapai 2 juta ton/tahun pada 2020. “Berarti Indonesia masih butuh tambahan 50 unit pabrik pengolahan kakao seukuran BT Cocoa,” katanya seraya menyebutkan produksi BM sendiri 40 ribu ton/tahun. Apalagi, ia mengetahui, permintaan kakao dunia terus bertumbuh 2%-4% per tahun atau bertambah 60-120 ribu ton/tahun. “Orang Eropa tidak akan bisa hidup sehari pun tanpa cokelat,” sambung Piter meyakinkan.
Jadi, dengan visi ingin mengembangkan industri kakao sekaligus menjadikan pabriknya sebagai showroom mesin-mesinnya, di tahun 2002 BM membangun industri pengolahan biji kakao dengan kapasitas produksi sebesar 10 ribu ton per tahun di lahan seluas 5 ribu m2. Pabrik pengolahan cokelat pertama milik Piter Jasman dan keluarga itu diresmikan 29 Januari 2002 oleh Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Menteri Perdagangan Luar Negeri Belanda Mr. Gerrit Ybema. Karena terus berkembang, pada 2005 dilakukan ekspansi dengan menambah satu pabrik lagi di lokasi yang berdekatan, dengan menggunakan teknologi berstandar Eropa.
Bila dihitung-hitung, untuk mendirikan dua pabrik itu setidaknya Piter telah menghabiskan US$ 20 juta. “Saya perkirakan balik modalnya setelah 10 tahun,” ujarnya santai. Kini pabrik pertama seluas 5 ribu m2 digunakan sebagai tempat pengupasan dan pemilahan biji kakao dari kotoran dan bebatuan. Setelah itu nibs atau biji kakao kering yang sudah dikupas, dikirim menggunakan truk tangki ke pabrik kedua yang jaraknya hanya 40 meter dari pabrik pertama. Total kapasitas produksi kedua pabrik itu 40 ribu/ton setahun, dan ke depan hendak ditingkatkan menjadi 80 ribu ton/tahun. “Semakin besar produksi semakin tinggi skala ekonomi dan semakin murah harganya,” tutur Piter. Biasanya, sebelum menambah kapasitas mesin, pihaknya lebih dulu mencari pembeli sehingga begitu mesin baru datang, kapasitasnya bisa berjalan penuh dan langsung terserap pasar. Dengan cara ini biaya bisa ditekan. Untuk memproduksi BT Cocoa, BM memperoleh 90% bahan bakunya (biji cokelat) dari dalam negeri (50% dari Sumatera, 20% dari Pulau Jawa dan Bali, 20% dari Sulawesi, dan 10% impor). Produksi BT Cocoa sendiri berupa cocoa butter (33%), cocoa liquor dan cocoa powder (47%), dan sisanya, 20%, berupa limbah. Cocoa liquor merupakan biji kakao yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus dari biji cokelat yang bercampur dengan lemak cokelat. Adapun cocoa liquor yang dipres hingga kering dan mampu memisahkan kandungan lemaknya, lalu dikeringkan dan digiling kembali hingga menghasilkan bubuk cokelat (cocoa powder). Sementara cocoa butter yang berharga paling mahal merupakan lemak cokelat hasil ekstraksi cocoa liquor dari pembentukan bubuk cokelat. Cocoa butter sering kali digunakan sebagai campuran pembuatan permen cokelat dan bahan baku kosmetik seperti lipstik. Produk cocoa butter BM selama ini 100% diekspor ke Amerika Serikat dan Eropa; hanya 50% produk cocoa liquor dan bubuk cokelat yang diekspor, sebab pasar lokal mampu menyerap separuhnya. Soal pemasaran, menurut Piter, tak ada hambatan lantaran pembeli di bisnis cokelat sudah captive. Yang tersulit adalah menjaga mutu dan meraih kepercayaan. “Kalau bisa memenuhi dua hal ini, kami tidak akan mengalami kesulitan,” tuturnya. Biasanya, produsen cokelat olahan membeli produk dari banyak perusahaan, tak hanya satu tempat semisal dari BM saja. Bapak tiga anak ini mengakui, bisnis cokelat olahan setengah jadi tak ubahnya bisnis komoditas. Harganya berfluktuasi seirama pasar. Karena itu, ada mekanisme kontrak untuk mengunci pesanan sebelum menjual.
Yang unik, yang dikontrak bukanlah harga produk, tapi volume produk. Jadi, sebelum melakukan kontrak jual-beli, lebih dulu pembeli memesan volume yang diinginkan. Dalam berkompetisi, BM Cocoa tak hanya mengandalkan mesin canggih, tetapi juga harga yang kompetitif. “Ibarat jual makanan, kalau murah dan enak pembeli pasti datang,” tandasnya. Tak heran, kini lebih dari 20 lebih klien besar Piter yang terdiri dari perusahaan dalam ataupun luar negeri (sebagian sudah disebutkan – Red.). BM juga tengah menjajaki pemasaran bubuk cokelat murni kemasan 1 kg ke beberapa supermarket dengan target ibu rumah tangga. Toh, Piter mengaku tak ingin lebih jauh masuk ke bisnis produk cokelat jadi (untuk end user) karena tidak ingin bersaing dengan para klien. “Kami harus menjaga etika dong,” Piter menjelaskan prinsipnya.
Emilia, Manajer Pembelian Korporat PT Gandum Mas Kencana, mengaku cukup puas dengan produk BT Cocoa. Perusahaannya yang memproduksi cokelat batangan bermerek Colatta, menilai harga produk BT Cocoa kompetitif. “Bisa lebih murah 10%-15% dari harga produk impor sejenis,” ujarnya. Pihaknya mengambil produk cokelat bubuk, cokelat liquor dan cokelat butter dari BT Cocoa sebanyak 10-15 ton per bulan.
Sementara itu, Fransiskus Johny, Head Manufakturing Garudafood untuk produk biskuit dan snack, mengaku sudah setahun terakhir perusahaannya mengambil produk cokelat bubuk dari BT Cocoa. “Jumlahnya sekitar 20 ton per bulan,” katanya. Ia melihat selama ini produksi BT Cocoa ditunjang mesin yang modern dan mampu menjaga konsistensi mutu. Apalagi, BM juga menawarkan laboratoriumnya untuk riset tim Garudafood. “Tapi belum kami manfaatkan karena kami sedang memikirkan jenis cokelat yang kami butuhkan,” tambah Fransiskus. Piter mengatakan, dalam berbisnis ia dididik oleh orang tuanya untuk jujur, serta menjaga kepercayaan dan hubungan baik. I
a menceritakan, setahun lalu dalam sebuah transaksi pernah rugi karena ada salah satu klien asingnya yang menuduh kualitas produknya tidak sesuai dengan sampel yang diterima. “Kami tahu itu tidak benar. Alasan sesungguhnya karena ada gejolak harga biji cokelat dunia hingga mereka merugi. Mereka cari alasan untuk menutupi kerugian. Pilihannya bagi kami cuma tolak atau terima. Kami pilih terima dengan kerugian sampai US$ 40 ribu. Kami mengalah karena tak ingin hanya karena satu kasus ini hubungan jadi rusak,” peraih ASEAN Best Executive Award dan International Best Executive Award ini menuturkan. Bukan sekali itu dirinya diperlakukan tak adil. Misalnya, banyak negara di mana kliennya berada yang menerapkan peraturan yang menghambat. Contohnya, bea masuk cokelat olahan dari Indonesia ke negara-negara Eropa 8%; sedangkan cokelat olahan dari Afrika 0% dengan alasan membantu negara bekas jajahan. “Itu diskriminasi. Di Eropa dan Belanda ada 400 ribu ton kapasitas mesin pabrik pengolahan cokelat yang berjalan dengan dilindungi oleh Uni Eropa. Kalau bukan karena bea masuk yang tinggi mereka sudah hancur,” ujar lelaki kelahiran Jakarta 26 April 1955 ini. Menurutnya, apabila Pemerintah Indonesia bisa melakukan lobi dengan baik, prospek bisnis cokelat Indonesia akan sangat bagus. Sejauh ini, lanjut Piter, meski diproteksi habis-habisan oleh negara Uni Eropa, produsen cokelat olahan Indonesia masih bisa bersaing masuk. “Ini pertanda bagus. Tinggal tunggu kapan pemerintah bisa melobi agar bea masuknya rendah. Harusnya kami mengadukan ke WTO,” ujar Piter. Ia memang cukup antusias dalam urusan melobi pemerintah demi memajukan industri kakao Indonesia.
Melalui AIKI yang didirikan bersama teman-temannya sesama pengolah kakao di tahun 2005, Piter memberi masukan kepada Presiden SBY mengenai penghapusan PPN 10% atas pembelian bahan baku; permasalahan diskriminasi tarif bea masuk di beberapa negara importir; dan beberapa isu lain. Cokelat bukan hanya menjadi bisnis Piter, tapi tampaknya sudah pula menjadi kecintaannya. Ini misalnya dibuktikan dengan mendirikan restoran Istana Nelayan, berkapasitas 1.000 orang, yang berlokasi di pintu keluar tol Serpong Tangerang.
Di restoran seluas 1 hektare yang berada di tepi Sungai Cisadane ini, Piter membuat miniatur perkebunan cokelat. Tujuannya untuk mengenalkan pohon cokelat baik kepada pelanggan pabriknya maupun publik. Resto itu dikelilingi suasana perkebunan kakao nan asri dan hijau, plus arena bermain anak-anak, kebun binatang mini berisi kuda poni, serta sebuah dapur cokelat mini, sehingga pengunjung bisa melihat langsung cara pengolahan cokelat. Piter juga ingin memasyarakatkan konsumsi cokelat di Indonesia dengan membuka sebuah kafe khusus cokelat di kawasan Benton Junction, Lippo Karawaci Tangerang, dengan nama BT Cocoa House. Kafe yang berlokasi dekat dengan Universitas Pelita Harapan ini nantinya hendak dikembangkan dengan pola waralaba. “Kami hanya menyuplai formula dan bahan baku,” tutur Piter seraya menjelaskan bahwa pihaknya biasa melakukan ekspansi bisnis dengan bantuan pendanaan bank.Dalam menjalankan bisnisnya Piter melibatkan pula keluarga besarnya.
Kini Piter tengah melakukan kaderisasi pada putra-putrinya. Lukas Jasman, putra sulungnya berada di Singapura untuk berbisnis perdagangan kakao. Lalu anak kedua, Juliana Jasman (24 tahun) menjabat sebagai Manajer Audit Internal BM. Adapun si bungsu Thomas Jasman (22 tahun), sedang kuliah perhotelan di Las Vegas, dan dipersiapkan menjadi penerus bisnis hotel dan restoran.
Yang pasti, Piter mengaku semua anak bakal diserahi bisnis sesuai dengan keahliannya masing-masing, sesuai dengan pelajaran berharga yang ia terima saat memulai berbisnis: Serahkan segala sesuatu kepada ahlinya!
Piter Jasman dan PT Bumitangerang MesindotamaBisnis
Inti:Bidang pengolahan biji cokelat (menjadi produk cokelat setengah jadi dengan merek BT Cocoa); dan penjualan mesin pengolah cokelat.
Kapasitas Produksi:40 ribu ton per tahun.Hasil Produksi:Cokelat olahan setengah jadi berjenis cocoa butter, cocoa liquor dan cocoa powder.
Bahan Baku:Biji cokelat dari Sumatera (50%); Pulau Jawa dan Bali (20%); Sulawesi (20%); dan impor (10%).
Klien Lokal:
Mayora Indah,
Kraft Foods,
Garuda Food,
Grup Orang Tua,
Gandum Mas,
Java Cocoa,
Indesso,
Tora Nusantara
dan Radiance.
Klien Asing:Cargill,
Unicom BV,
EDF & Man International,
Continaf,
Olam Singapore,
ADM Cocoa,
Macao Spain Valencia,
General Cocoa,
Atlantic Cocoa,
Theobroma Holland dan
Shanghai Shan Long Wei,
Liwayway Phillipines
Asscot.
Bisnis Lain Piter Jasman:
Produsen pemanis sodium siklamat (PT Wihadil Chemical Industry);
Produsen herbisida (PT Adil Makmur Fajar);
Hotel (Hotel Istana Nelayan);
Resto (Istana Nelayan dan BT Cocoa House).
Kunci Sukes Ala Piter Jasman:Menjaga mutu produk dan kepercayaan klien.
Prinsip/Moto Bisnis:Serahkan segala sesuatu kepada ahlinya.
.
2 comments:
bisa minta tolong cariin data indeks produktivitas dari Bumi Tangerang ga? karena saya lagi ingin membuat skripsi yang membahas produktivitas perusahaan coklat tanah air
Hii... boleh enggak saya ikut memasok cokelat biji dari Tanggamus (Lampung). Soalnya di desaku penghasil cokelat, tapi cuma bisanya jual ke pedagang di Kota Agung. Mohon infonya. Ini HP saya, Sigit Wahyu 0811 849646
Post a Comment